Kupanggil Dia Cinta (CERITA-NYA Project #5)
03.24
Oleh Resty
Amalia
Dia anak yang sangat aktif,
energik, dan penuh celoteh. Dia termasuk salah satu anak yang tak pernah bisa
diam di kelasku. Aku pun pernah dalam hati bertanya-tanya mengapa tenaganya tak
pernah habis sekalipun aku telah memberinya ekstra aktifitas sebelum dia masuk
kelas dan belajar. Sebagai guru kelasnya di kelas dua tahun ajaran yang baru
saja berlalu, aku menjadi layaknya ibunya selama seharian di sekolah.
Sekolah tempatku mengajar
adalah salah satu sekolah nasional plus yang ada di Jabodetabek yang
menggunakan sistem kurikulum yang memfokuskan pembelajaran pada pemahaman
konsep melalui diskusi, aktifitas belajar, ‘project’, dan juga aksi secara
langsung. Jadilah, kegiatan pembelajarannya pun jangan dibayangkan seperti
model sekolahku jaman dulu yang hanya duduk, mendengarkan penjelasan dari guru,
dan mengerjakan tugas dari guru. Murid-murid di sekolahku mengajar, semuanya
diarahkan untuk aktif. Salah satunya Cinta yang memang memiliki kemampuan dasar
yang tak pernah bisa diam. Karena aku memang tidak seharusnya memintanya untuk
tidak aktif, aku pun hanya bisa mengarahkannya untuk bisa lebih peka dan
mengontrol diri. Untuk tahu kapan, dimana, dan bagaiman dia bersikap. Tetap
saja usahaku masih tak berhasil. Dia masih suka mengajak mengobrol
teman-temannya ketika berdiskusi di kelas, berlari-lari ketika seharusnya
menyelesaikan pekerjaannya, dan yang paling tidak bisa dibiarkan adalah sering
sekali berkonflik dengan teman-teman di kelasnya. Hampir semua anak di kelas
memiliki masalah dengannya. Tapi, anak-anak yang lain tak pernah membalas apa
yang sudah Cinta lakukan pada mereka. Aku pun memiliki kewajiban untuk menjadi
penengah bagi semuanya dan selayaknya seorang ibu yang memberikan pengertian
dan mengajak berdiskusi bagaimana seharusnya mereka bersikap dan membantu
mereka menemukan penyelesaian masalah.
Diskusi kami mengenai
konflik-konflik yang mereka alami selalu berakhir baik-baik saja karena
masing-masing anak dapat menceritakan masalah mereka, tahu bagaimana
seharusnya, dan menemukan penyelesaian masalah yang mereka hadapi. Semuanya
nampak baik-baik saja. Cinta pun selalu yang paling lancar menyampaiakan
bagaimana seharusnya mereka bersikap terhadap sesama teman agar tidak saling
berkonflik. Hingga akhirnya Cinta mengulangi perbuatan-perbuatannya yang kurang
menyenangkan pada teman-temannya. Perbuatan yang dia lakukan yang menyebabkan
konflik selalu ada di sekitar berebut sesuatu, melarang siapa bermain dengan
siapa, atau karena melihat siapa berbisik-bisik dengan siapa. Segala macam cara
sudah dilakukan dari mengajak diskusi, memintanya untuk refleksi diri, meminta
bantuan kepala sekolah untuk menasihatinya, hingga mengambil atau mengurangi
apa yang disenanginya ketika dia berbuat tak baik lagi. Semuanya efektif hingga
sementara waktu. Ketika dia mendapatkan segala konsekuensi itu, dia mampu
menerimanya tetapi dia akan selalu mengulangi hal yang sama. Hingga hal yang belakangan
sangat perlu kuperhatikan adalah responsnya ketika marah pada orang lain. Pada
saat itu dia memukul orang lain.
Semua teman-temannya merasa
terganggu. Hampir semua anak termasuk orangtua anak-anak yang lain merasa
terkena ‘bully’. Aku tak bisa tinggal diam. Dengan komposisi kelas pada saat
itu yang sebagian besar anak-anak dengan kecerdasan kinestetik, aku merasa
sangat kelelahan secara fisik dan batin. Bukan hanya Cinta yang membuatku
bekerja keras setiap harinya. Masih ada juga anak yang lainnya yang membutuhkan
perhatian khusus. Pernah aku merasa sangat lelah menghadapi sikapnya yang belum
bisa juga menunjukkan perubahan ke arah yang lebih baik dan cenderung memburuk.
Berbagai macam cara kurasa sudah kulakukan. Semua yang terjadi padanya dan
upaya-upaya yang kulakukan juga tak lupa kuceritakan pada ibunya yang sangat
kooperatif denganku. Aku pernah merasa sangat gagal dalam mendidiknya, hingga
rasanya campur aduk. Marah, kecewa, lelah, dan menahan tangis. Mungkin darinya
aku banyak belajar menjadi orang dewasa yang akan menjadi calon ibu
sesungguhnya. Menjadi ibu yang mendidik anak itu tidak mudah.
Pernah aku merasa di titik
terendah kesabaran dan pada akhirnya mendiamkannya. Mungkin dalam hal ini aku
merasa yang kulakukan mungkin kurang baik. Tapi, hal itu kulakukan dari pada
aku harus marah padanya dan justru akan menyakitinya. Kudiamkan dia seharian
penuh hingga akhirnya di siang hari sebelum pulang sekolah dia mendekatiku,
memelukku, dan bilang ‘I love you, Ibu’. Tak bisa lagi aku menahan bentengku
untuk mendiamkannya lagi. Aku pun luluh. Memeluknya dan memberinya pesan
untuknya agar menjadi anak yang lebih menyenangkan. Hari itu pun ditutup dengan
manis.
Kejadian itu membuatku
berefleksi diri. Aku tak mampu merubahnya dalam sekejap waktu. Ekspektasiku
seharusnya lebih membumi dan usaha harus terus kulakukan. Apa pun yang
kulakukan demi membuat perilakunya membaik, dia tak pernah mendendam kepadaku.
Kuakui aku tegas sekali padanya. Sering kali aku merasa terlalu tegas padanya,
tapi dia selalu datang padaku untuk sekedar memeluk dan mengatakan ‘I love you,
Ibu’. Perbuatannya dan kata-katanya itulah yang selalu membuatku sangat ingin
membuatnya lebih baik. Bagaimanapun dia, walaupun sering menyebalkan di mata
teman-temannya maupun orang sekitarnya, dia tetap memiliki potensi dan sisi
baik. Hal-hal itulah yang ingin lebih kumunculkan darinya. Dia yang selalu
aktif bertanya sesuatu. Dia yang selalu mencari tahu hal-hal baru. Dia yang
memiliki keingintahuan yang besar tentang banyak hal. Hingga aku selalu ingin
lebih mengenalnya dekat dan pada akhirnya mengetahui dia hanya mencari
perhatian, ingin diperhatikan, dan ingin diliputi rasa cinta di sekitarnya.
Hingga aku pun memanggilnya ‘Cinta’ agar dia lebih merasa dicintai. Cinta yang
membutuhkan cinta. Cinta hanya butuh cinta. Itu saja. Cinta yang diharap akan
membawanya ke perubahan yang lebih baik. (*)
Foto diambil dari google images oleh admin blog RDM
0 comments