“Kak, Kakak Kapan Kesini Lagi?” (CERITA-NYA Project #11)
08.05
Oleh Ahmad Sajali
Pertanyaan
sekaligus judul dari tulisan ini ialah hal yang masih amat terkenang dari momen
tak terlupakan dari kunjungan saya dan Komunitas Kampung Sarjana ke Desa
Cibuyutan. Desa yang masih dilingkari oleh banyak keterbelakangan meskipun
terletak di Kabupaten Bogor yang tak begitu jauh terletak dari ibukota negara
ini, DKI Jakarta.
Kunjungan
ini kami lakukan rutin sekali dalam sebulan, namun dengan anggota tim yang
berbeda-beda. Kebetulan untuk Mei dan Juni aku mendapat giliran berjumpa dengan
warga yang saya yakin ialah orang-orang yang memiliki banyak keistimewaan. Ya,
mereka istimewa, bagaimana tidak?, mereka harus tegar menjalanin kehidupan dengan
kondisi geografis yang masih amat sulit. Titik terakhir akses yang bisa dilalui
oleh mobil sama dengan 2 jam perjalanan ke rumah mereka. Jalur sempit belum
beraspal lagi berundak-undak harus mereka jalani setiap saat.
Bukan hanya kondisi
geografis, keadaan sosial mereka juga masih terbilang sangat minim.
Ketersediaan listrik yang hanya 12 jam per hari dengan kapasitas sangat sedikit
harus mereka syukuri berkat adanya pembangkit listrik tenaga surya dalam 6
bulan terakhir. Listrik yang hanya mereka bisa rasakan keberadaaanya di malam
hari belum seberapa dibandingkan penderitaan bahwa belum adanya unit kesehatan
sekelas puskesmas ataupun posyandu di desa mereka. Hingga banyak kisah sedih
gugurnya bayi atau meninggalnya ibu hamil di perjalanan menuju dukun beranak
atau puskesmas di desa lain saat hendak melahirkan.
Namun, desa ini masih
menyimpan harapan. Desa cibuyutan masih memiliki sekumpulan anak yang masih
berkesempatan mengenyam pendidikan. Meskipun lagi-lagi, fakta miris juga tak
luput di dunia pendidikan. Desa ini hanya memiliki 1 lembaga pendidikan, yakni
Madrasah Ibtidaiyah (setara Sekolah Dasar) bernama Miftahushsholah yang hanya
memiliki 1 pengajar aktif sekaligus sesepuh desa yakni Pak Mista Mulyadi yang
sangat berdedikasi tinggi mengangkat derajat anak-anak Cibuyutan lewat ilmu
pengetahuan yang diajarkan serta akhlak mulia yang dicontohkan. Hingga pada
akhirnya, kini Cibuyutan memiliki 10 anak yang telah lulus dari MI dan
melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi, 3 di antaranya sudah mendaftar di
jenjang SMA.
Untuk kunjungan di bulan
Mei, dalam proses pembuatan program Kebun Kampung Sarjana, program pemberdayaan
masyarakat untuk pemenuhan biaya pendidikan anak-anak di desa ini saya agak
minim berinteraksi dengan anak-anak yang ada di desa ini. Dikarenakan banyak di
antara mereka masih berada di Pondok tempat mereka belajar sekaligus tinggal di
desa lainnya. Berbeda dengan di bulan Juni, yang merupakan bulan liburan bagi
mereka. Kami dalam rombongan cukup besar yakni belasan orang berniat mengisi
beberapa hari masa liburan mereka dengan berbagai keseruan dan hal-hal menarik
yang kami harapkan bisa membekas dalam kehidupan mereka.
Ada 3 kegiatan inti dalam
kunjungan kali ini, Kelas Karya dimana mereka kami ajarkan membuat kincir angin
dari bahan bekas seperti gelas air mineral kemasan. Lalu ada Kelas Inspirasi
yang memberikan mereka gambaran kehidupan pasca dunia pendidikan. Serta ada
Kelas Parenting khusus orangtua para anak yang menjelaskan pentingnya dunia
pendidikan serta memberikan semangat bahwa mereka tak sendirian untuk
menyelenggarakan dunia pendidikan bagi anak-anak mereka. Di samping kegiatan
inti ini, juga ada kegiatan dongeng yang kebetulan menjadi bagian yang saya
menjadi penanggungjawab dan sebagai pendongeng bagi mereka.
Kegiatan dongeng ini
berlangsung pada Minggu pagi dimana anak seusia mereka di perkotaan tengah asik
dengan tontonan kartun di televisi. Namun mereka tengah bercengkerama dengan
alam dan bersiap mendengarkan dongeng dari saya dan rekan-rekan. Mereka dengan
antusias turun ke lapangan meskipun matahari pagi itu sudah cukup terik
menyengat, dengan membentuk setengah lingkaran mereka duduk dan menunjukkan
ekspresi tak sabar akan dongeng yang sesaat lagi disampaikan. Berbekal dongeng
dari Mbak Rona Mentari, pendiri Rumah Dongeng Mentari yang berjudul “Cerita
Bersyukur Kito Si Katak”, saya akhirnya memberanikan diri menghibur adik-adik
Cibuyutan. Dengan bantuan boneka-boneka binatang, saya menyampaikan dongeng
yang berintikan tentang rasa bersyukur ini, rasa yang juga mereka miliki karena
mereka bercita-cita membangun Cibuyutan menjadi lebih baik di kemudian hari.
Tak lupa mereka dengan
semangat bersahutan menjawab ketika saya menanyakan ciri-ciri ataupun menirukan
suara dari katak, kuda, burung, dan beberapa hewan lain yang ada di dongeng
tersebut. Momen mendongeng ini membuat tak ada jarak lagi antara saya dan
mereka, keakraban terbina setelahnya, menggantikan rasa canggung dan malu yang
sempat menghinggapi diri mereka. Di akhir kegiatan mereka seolah tak mau
melepas kepergian kami untuk kembali ke Jakarta. Berbagai pertanyaan mereka
ajukan kepada kami, dan satu pertanyaan yang akan terus teringat di benak kami,
“Kak, Kakak Kapan Kesini Lagi?”. (*)
0 comments