Cerita Anak Papua (CERITA-NYA Project #13)
09.52
Oleh Bonifasia
Tahun lalu saya mendapatkan kesempatan untuk tinggal bersama
warga Manokwari, Papua dalam rangka KKN-UGM. Sore ini tiba tiba saya rindu
sekali. Langit di halaman rumah Salomo sore ini warnanya apa kah? Mungkin
bercerita bisa sedikit mengobati rindu :)
Namanya Salomo,
seorang anak kepala suku. Selain mengajar di SD, kami mengadakan kegiatan
belajar bersama setiap sore di halaman belakang rumahnya yang adalah pantai,
lengkap dengan ikan warna-warni, ubur-ubur, dan sebuah pulau kecil. Salomo duduk
di kelas 5, tetapi belum bisa membaca. Setiap kali kami belajar bersama, ia
pasti bermain sendiri, berlarian, berenang, memanjat pohon, atau bikin ketapel
baru. Pernah suatu kali saya membujuknya untuk belajar,
"Omo, kalau ko bisa jawab sa pu pertanyaan, nanti sa kasi
ko permen!" Mungkin tawaran saya tidak cukup menarik, dia menjawab,
“Ah untuk apa kaka, kalau permen sa pu baaanyak di rumah!”
Saya lupa, dia anak kepala suku dan mungkin punya lebih banyak
permen. Tetapi saya tidak kesal, justru menertawai diri saya sendiri, sekaligus
kagum padanya. Ia selalu mengatakan hal yang kesannya terlalu diplomatis untuk
anak seumurannya. Ia suka memerintah teman-temannya, tetapi selalu memberi
apapun yang ia dapatkan. Mungkin itulah mengapa ia seorang anak kepala suku.
Lain waktu saya bilang padanya, “Ko sudah harus bisa baca
sebelum sa pulang ke Jawa.” Sore itu, semua temannya bermain di laut, hanya ia
yang membawa buku, mencoba menulis huruf A sampai Z pelan-pelan sekali. Hari
itu Salomo bisa menuliskan namanya sendiri.
Ada juga Rocky. Ayahnya bekerja
untuk keluarga Salomo sebagai supir truk. Ibunya tidak ada. Rumahnya sebesar
satu kamar, dengan satu tempat tidur, satu lemari, satu tv kecil, dan satu
spion truk untuk cermin. Saya pertama kali mengenal Rocky ketika ia
mendayungkan sampan kecil untuk saya sampai ke pulau seberang. Saya bertanya,
kalau sudah besar ia ingin menjadi apa. Ia menjawab, Pastor. Rocky rajin sekali
pergi ke gereja, dengan satu kemejanya yang selalu sama.
Rocky ini cerdas, dan sangat menyukai pelajaran Bahasa
Inggris. Sore itu sebelum mengajar saya bertanya, "Ko sudah tau angka
dalam bahasa inggris sampai berapa kah?"
"Satu sampai sebelas saja." Kemudian saya mengajari
Rocky mulai dari angka dua belas, hanya selama 15 menit.
Keesokan paginya di sekolah, ia memberi saya buku, "Kak
Boni, ini dinilai ya!"
Ia membuat soal dan menjawabnya sendiri, terjemahan angka ke
dalam Bahasa Inggris sampai ratusan ribu, tanpa diminta. Di bawahnya ia
menulis, "Ah, malam ini capai sekali belajar", ditambah gambar bentuk
hati. Saya hampir menangis di depan kelas waktu itu.
Ada lagi Marcel.
Terakhir ia tidak naik kelas. Saya pernah mengajar di kelasnya, ia memang tidak
menonjol di akademis. Tetapi bakatnya untuk bercerita dan menghibur menurut
saya hebat sekali. Ia suka membuat MOP, stand
up comedy khas Papua. Saya sering tidak paham karena cara bicaranya yang
cepat dengan logat Papua. Tetapi ia selalu membuat saya tertawa
terpingkal-pingkal karena ekspresinya yang sangat menghibur.
Sesekali Marcel tidak ikut bermain. Ia pergi bersama ayahnya
mencari ikan di laut. Kakaknya tidak melanjutkan sekolah, adiknya waktu itu
sedang dirawat di RS. Keluarganya sangat baik, memberi cinderamata dari hewan
laut yang diambil dari pantai sebelum kami pulang. “Ini sa dan sa pu mama bikin
tadi malam sampaaai mengantuk”.
Pernah di malam terakhir kami di Papua, Marcel tiba-tiba
datang, berjalan kaki sendirian jauh sekali hanya karena ingin menginap bersama
kami.
Saya masih sangat ingat, sore terakhir kami bermain di halaman
rumah Salomo. Waktu itu hanya ada saya, satu teman, dan mereka bertiga.
Salomo bilang, “Besok pagi pagi, sa mau pergi ke bandara. Sa
mau lepas tu pesawat pu ban, supaya kakak tara bisa pulang ke Jawa”.
Sore itu Rocky bersembunyi di bawah jembatan dermaga pinggir
pantai rumah Salomo, menangis di sana. Katanya, “Coba sa bisa putar waktu,
seeettt! Jadi hari pertama lagi kakak datang ke sini!” Marcel juga menangis
lama sekali, “Kalau kaka pulang, nanti kami main dengan siapa lagi”. Tapi kami
bisa apa.
Waktu itu sampai gelap kami berada di pinggir pantai halaman
rumah Salomo. Lalu tiba-tiba mereka bertiga berbaris, menyanyi, “Terpujilah
wahai engkau, ibu bapa guru…”
Dua hari kemudian kami kembali ke Jawa.
Beberapa waktu yang lalu tidak sengaja saya membuka satu buku
di rak, enam tahun yang lalu saya pernah menulis lists of 100 things to do yang tidak selesai.
Saya tidak pernah ingat, ternyata hal pertama yang saya tulis adalah, “Mengajar di
Papua”. Saya sudah sampai di sana. Dan saat itu juga saya melanjutkan list tersebut, menambahkan, “Belajar lagi di Papua”. Apa yang kami ajarkan di sana tidak sebanding dengan apa yang
sudah kami pelajari dari mereka semua. Masih ada banyak anak-anak lainnya yang
setiap ceritanya membuat kami sedih, sekaligus belajar. Saya tidak tau bagaimana
mereka bisa tetap gembira, setiap hari pergi sekolah, walaupun hujan,
walaupun tidak ada guru.
Mereka sudah berjanji mau belajar dengan rajin, supaya suatu
hari nanti kami bisa bertemu lagi.
0 comments