Aku Telah Berhutang Besar (CERITA-NYA Project #9)
09.37
Oleh: Fauzan Fadri
Empat tahun yang
lalu, kapal kami merapat di pelabuhan Sikakap, Kepulauan Mentawai, setelah
hampir empat belas jam terombang ambing gelombang. Di pinggir pelabuhan, ada
seorang Ibu tua tanpa suami mengajakku ikut serta
ke gubuknya. Ibu itu memintaku untuk memoto setiap sudut pekarangan dan gubuk
yang hampir roboh itu. Berikut foto diri dan anak laki-laki kecilnya.
Ibu
itu mungkin menganggap kami adalah anggota relawan atau wartawan internasional
lainnya yang akan menyalurkan dana bantuan untuk memperbaiki gubuknya dengan
bantuan link yang kami punyai, mempublishnya ke media
Namun
sayang, kami hanyalah sekumpulan kecil 'mahasiswa nekat' yang akan melakukan
kegiatan 'trauma healing' pasca gempa dan tsunami yang telah menimpa kepulauan
indah itu beberapa minggu sebelumnya. Kenapa kami dibilang nekat, waktu itu
Sumbar mendapatkan isu tsunami dan gelombang susulan, masyarakat yang tinggal
di kota Padang dan pesisir pantai mengungsi kedaratan yang lebih tinggi,
termasuk ke kampus kami Universitas Andalas yang berada di kawasan perbukitan.
Keberanian kami timbul karena dukungan dan doa dari orang tua dan dosen,
meskipun kami dilepas oleh sedikit linangan air mata.
Saat turun
menjadi relawan, kami tak membawa uang tunai sama sekali. Yang kami bawa
hanyalah sedikit beras, daging sapi dan kambing yang sudah kami masak menjadi
irisan dendeng kering dan rendang (bantuan dana hewan kurban dari Muslim
Inggris melalui lembaga IHSAN – International Humanitarian Social Aid Network),
beberapa mainan anak, dan ukulele kesayanganku yang biasanya kugunakan sebagai
alat musik bantu dalam mendongeng. Memang tujuan utama kami adalah untuk
menghibur anak-anak korban.
Aku tak kuasa
menjelaskan siapa sebenarnya kami, aku malah menuruti permintaan Ibu itu. Dan
anaknya, terlihat suka sekali dengan ukulele yang ku bawa itu. Si anak kecil
bahkan meminta ukulele tersebut, namun dengan halus aku menolaknya karena
ukulele tersebut begitu berarti buatku, selalu menemaniku ketika sendiri,
mengamen bersama kawan-kawan di kampus, atau berdongeng.
Salah satu
kejadian kecil yang sampai kini pun tak pernah aku lupakan sama sekali: aku
telah tak dapat memenuhi permintaan si Ibu tua dan anaknya, untuk memperbaiki
gubuknya dan memberikan ukulele ku. Aku telah berhutang kepada mereka. Dan kini
ukulele itu masih tergantung setia di dinding kamarku. Menjadi saksi bisu.
Sebuah
peristiwa seolah 'perjalanan spiritual' yang terus membuatku terlecut untuk berusaha
lebih mengabdikan diri kepada bangsa ini. Membaktikan jiwa raga kepada
anak-anak negeri dan dunia pendidikan. Karena hanya dengan pendidikanlah, yang
dapat mengangkat mereka dan kita semua dari jurang kemelaratan.
Ya, aku
telah berhutang besar sekali kepada Si Ibu dan anak lelakinya, kepada bangsa
ini. Hutang ini harus terbayarkan, hari ini dan nanti-nanti. Tanpa terasa sudah
empat tahun berlalu. Kini aku menjadi guru di sebuah SDIT di kota Depok. Aku
jauh-jauh merantau ke sini dengan sebuah alasan: belajar untuk menjadi guru
sebenarnya dan mendalami dunia pendidikan.
Di
sekolahku pun kini aku menjadi salah satu guru pendongeng rutin ketika ada
acara-acara sekolah, pesantren ramadhan, dan kegiatan-kegiatan pengajian warga
sekitar. Meskipun aku kini belumlah menjadi pendongeng profesional, namun aku
yakin sekali, salah satu hobiku ini sudah menjadi candu bagiku. Betapa tidak,
keriuhan kanak-kanak, gelak tawa riang dan canda mereka ketika menyaksikan
dongeng adalah obat bagiku. Menjadi penyemangat dan pengingat janjiku empat
tahun yang lalu.
Penulis adalah:
Guru bahasa Inggris di SDIT Darojaatul Uluum, Meruyung, Limo, Kota Depok
Guru bahasa Inggris di SDIT Darojaatul Uluum, Meruyung, Limo, Kota Depok
Mahasiswa Pasca Sarjana Pend. Bhs. Inggris, UNINDRA, Jakarta.
0 comments