Gara-Gara Kutunya Hamim (CERITA-NYA Project #2)

01.16

Oleh Rizki Mustika

Aku sepakat bahwa anak-anak belajar lebih cepat daripada orang dewasa. Sudah kulihat sendiri kawan, mereka bisa mengelaborasi lebih luas dan mengimprovisasi dengan lebih kaya. Mungkin dari sinilah datangnya pepatah “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”.
19 Agustus 2013. Ini hari pertama kembali ke sekolah setelah liburan lebaran. Hanya tiga orang guru yang hadir. Jadinya kami masing-masing mesti  mengajar rangkap di dua kelas. Bagianku, kelas 3 dan kelas 4. Kedua kelas ini dipisahkan lapangan sekolah berkisar 20 meter panjangnya.

Makanya untuk kasusku, mengajar rangkap itu berdampak sistemik. Jadwal untuk anak-anakku sendiri di kelas 3 jadi kacau. Untuk pelajaran IPA, aku harusnya sudah menyampaikan pengelompokkan hewan berdasarkan makanan dan jumlah kakinya. Tapi hanya pengelompokkan hewan berdasarkan makanannya saja yang berhasil tersampaikan. Jadi kualokasikan les hari ini untuk mengejar ketinggalan.

Pukul 16.00 aku sudah stand by, duduk di ayunan halaman depan. Sebuah Animal Encyclopedia sudah kutaruh di dalam.

Pukul 15.00 anak-anak berdatangan. Umpanku kena. Sebagian besar langsung melihat-lihat ensiklopedi hewan yang tadi kutaruh di dalam. Kujelaskan apa yang mereka lihat, kujawab apa yang mereka tanya, terus kukait-kaitkan dengan materi sebelumnya. Lumayan, buat review.
Tak lama kemudian, sudah ada 20 (dari total 24) anak Kelas 3, dan 2-3 anak kelas 4 dan 5. Pada les tambahan hari ini muncul beberapa batang hidung baru. Salah satunya kepunyaan Hamim. Hamim adalah anak kelasku yang hobinya mancing. Tak peduli betapapun panas garang matahari ia tetap setia pada seutas benang pancing, umpan, dan piggiran pantai. Kurasa inilah mengapa Hamin tak pernah datang sebelumnya.

Belajar tambahan kumulai. Materinya, yang tadi tertinggal; penggolongan hewan berdasarkan jumlah kakinya. Pertama, hewan berkaki dua. Kuminta mereka menuliskan 5 contoh. Tak ada masalah. Selain Ayam dan Itik yang memang tersedia di Gili, mereka sudah bisa menuliskan Flaminggo, Kiwi, Burung Unta, Pinguin, Gagak, dan Burung Beo yang sudah dilihat di ensiklopedi. Dilanjut hewan berkaki empat. Gampang. Anak-anak ini sudah biasa lihat kambing, kucing, anjing, dan sapi. Mereka pun sudah tahu gajah, jerapah, badak, kuda nil, zebra, tapir, hyena, dan trenggiling dari ensiklopedi. Nah masuk ke hewan berkaki enam, mereka bimbang. Beberapa mulai menebak-nebak sembarangan.

“Ebhu! Kalowang sokonya enem ye, Bhu??” 

Kalowang itu kelelawar dalam bahasa Gili. Fuat salah mengira kaki kelelawar ada enam.

“Coba, kaki kalowang bede berampa?”  Fuat kutanya balik.

Kalowang bede sayap, Bhu!” Fuat seperti tiba-tiba ingat kalau kelelawar punya sayap.

“Iya. Kakinya? Bede berampa? Ituu.. yang dipakai untuk menggantung, kalau malam-malam di pohon...” Aku desak mereka untuk membayangkan langsung.

“Duue.. ye, Bhu??” Beberapa anak menjawab bersamaan. Aku senyum, mengangguk, mengisyaratkan “Ya, kalian benar.” Lalu datang tebakan yang lebih ngaco lagi, ini dari Anwar.

“Bireng-bireng ye, Bhu??” Bireng-bireng itu ulat kaki seribu, Kawan. Aku senyum lagi. Kali ini tidak mengangguk, tapi menaikkan alis mata. Mengisyaratkan “Yakin? Coba dipikir lagi...”

“Benyak sokona, Waaar!” Nami meneriaki Anwar. Nami yakin betul ulat kaki seribu berkaki banyak.

“Saebhu sokona, Waaar!” Fuat menegaskan, seolah ia pernah menghitung sendiri kaki ulat itu dan memang berjumlah seribu.

“Eh, benyak ye, Bhu?!” Anwar garuk-garuk kepala, nyengir. Itu selalu jadi tanda buatku bahwa Anwar sadar ia telah khilaf. 

Saat itu ada banyak semut di sekitar kami. Kuambil satu. Kuperlihatkan pada anak-anak dan kuminta mereka menghitung kakinya.

“Jadi, bilis bede berampa sokona?” Bilis maksudku semut.

“Enaaaaam.....” Anak-anak sepakat.

“Nah, coba sekarang tangkap rengek. Kita etong sokona bede berampa.” Tak perlu diminta dua kali, anak-anak langsung berlari-lari kian kemari. Kecuali Hamim, semua sibuk berburu nyamuk. Nami yang berdiri paling dekat Hamim mengadu,

“Ebhu! Hamim kalak koto, Bhu!” Entah bagaimana Nami punya pikiran mengambil kutu dari kepala sendiri adalah pelanggaran yang perlu diadukan. Eh tunggu, intinya bukan itu. Bagaimana mungkin aku melewatkan ide ini. Mengambil kutu di kepala masing-masing untuk dihitung jumlah kakinya sungguh adalah ide bagus. Kutu adalah hewan yang semua anak punya, dan aku yakin mereka belum tahu jumlah kakinya. Kenapa aku sama sekali tak kepikiran. Malah Hamim yang menemukan.

Aku mendekat. Di telapak tangan Hamim bergeming seekor kutu. Si kutu sepertinya shock tertangkap basah oleh tuannya. Langsung kuajak anak-anak berkumpul dan meminta mereka semua menghitung kaki kutu Hamim.


“Enaaaaam.....” Sekali lagi anak-anak sepakat. Satu hal lagi mereka ketahui dengan menemukan dan mengalami sendiri. Dan lagi-lagi aku dibuat takjub anak-anakku di Gili. (*)

You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images

Subscribe