Saripku Anak Bintang (CERITA-NYA Project #18)
08.24
Oleh: Rizki Mustika
16 Maret 2014.
Hari ini tepat tujuh
bulan sudah aku menjadi guru bantu di SD Negeri di sebuah pulau kecil bernama
Gili. Hari ini, Minggu, biasanya aku main ke rumah anak-anak muridku, sekaligus home visit. Tapi hari ini aku main ke
rumah rekan kerjaku, seorang guru yang asli orang sini. Kami
berbincang-bincang. Obrolan bergulir pada Sarip, murid kelasku. Singkat cerita
aku dapat kisah keluarganya. Aku tak percaya. Siapa sangka Sarip punya cerita
duka soal orang tuanya.
Seperti yang mungkin sudah kawan duga,
pemuda Gili tidak begitu berminat melanjutkan pendidikan. Begitu lulus SD,
kebanyakan mereka menikah. Orang tua Sarip termasuk dalam kebanyakan itu. Kudengar,
pernikahan muda punya lebih banyak dinamika. Begitupun orang tua Sarip. Ibunya
suatu hari dipergoki melakukan sebuah kesalahan yang tidak bisa ditoleransi.
Ayahnya menceraikan ibunya. Si Ayah pindah ke Madura dan menikah lagi. Si Ibu
yang pergi bekerja ke Malaysia pun sama, menikah untuk kedua kali. Tinggallah
Sarip hanya bersama Bibi di Pulau Gili. Sungguh tidak kusangka, Sarip yang
kukenal, tumbuh dengan latar belakang keluarga begini.
1 Oktober 2013.
Sarip tidak pecicilan
seperti biasa. Kepalanya terkulai di meja. Matanya yang jenaka terkatup. Sarip
tidur, kusyuk sekali.
“Sarip berang, Bhu!” anak-anakku menunjuk-nunjuk. Kuusap kening Sarip, panas.
Anak-anakku benar, Sarip demam. Maka kubiarkan Sarip tidur. Sempat ia bangun
sebentar, kutanya kenapa,
“Mabuk, Bhu”.
Pusing,
jawabnya lemas. Kutanya apa ia sarapan,
“Nten, Bhu”.
Nten itu
berarti tidak dalam Bahasa Gili halus.
Oh Kawan harus tahu, anak kelas kecil
rata-rata tidak berbahasa halus. Sarip masih kelas 3, tapi ia berbahasa halus
padaku. Kubilang pada Sarip, kalau sebelum
sekolah ia harus sarapan. Nasi dan jangan mie. Lalu, kutanya lagi apa ia mau
diantar pulang saja. Tidak, Sarip mau tetap di kelas.
“Nengkene tak
rapa-rapa Sarip bede e kelas. Jhela, mun detang sekola, Sarip langsong ngakan. Pabenyak nginum aeng, ngghi?!”
“Ngghi, Bhu.”
Sarip
tidur lagi.
Sepulang sekolah, kami mengantar Sarip
ke rumah Bibinya. Ia ketuk pintu depan, tidak ada jawaban. Kupikir, mungkin Si
Bibi sedang bertandang. Sarip memutar cukup jauh untuk sampai ke pintu
belakang. Pintu itu pintu kayu yang langsung ke dapur. Dapur Sarip berlantai
tanah dan berdinding anyaman bambu. Sarip masuk, dan tebak apa yang ia
lakukan kemudian? Sarip melepas tas, menggantungnya, melepas seragam,
menggantungnya, mengambil sepatu dan menaruh di raknya. Ia lalu melakukan
persis yang tadi kupesankan. Ia langsung ke meja makan, menyendok nasi, ke
tungku, mengambil ikan pindang dari panci, dan makan. Selesai, piringnya ia
cuci. Ia lalu minum air putih banyak sekali. Sangat kentara ia berusaha keras
menghabiskan dua gelas.
Aku takjub. Anak kecil begini, dalam
keadaan sakit pula, bisa se-mandiri ini.
5 Maret 2014.
Kami hampir selesai
dengan ritual pagi. Anak-anakku sudah berbaris dan masuk kelas. Kami sudah
selesai berdoa dan bernyanyi. Ketika akan membaca perkalian 1-5, Sarip
buru-buru masuk. Wajahnya wajah bersalah. Kutanya, “kenapa Sarip terlambat?”
“Saya makan, Bu.” Sarip terus
menunduk, menjawab dengan pelan. Rasa bersalahnya kentara.
Kawan kira, aku bisa apa? Mendengar
jawaban begitu, sungguh bahagia rasanya. Pertama, Sarip paham datang terlambat
itu salah. Kedua, Sarip melakukan apa yang kupesankan padanya sejak Oktober
lalu. Sejak ia sakit waktu itu.
Oh, bagaimana bisa ia sepatuh ini.
28 Februari 2014.
Sudah 3 minggu Gili
kedatangan anak KKN dari sebuah sekolah tinggi lokal. Besok sore mereka
meninggalkan Pulau Gili. Maka malam ini mereka menyelenggarakan acara
perpisahan. Tadi siang kudengar dari anak-anakku, Sarip berkata kasar pada
Anwar. Anwar itu salah satu peserta KKN. Ia yang menggantikanku mengajar
kemarin, ketika aku sakit. Aku tidak akan percaya sebelum Sarip mengakui
sendiri.
Malam itu aku tidak duduk di
kursi-kursi tamu yang telah disediakan. Aku duduk bersama anak-anak di terpal
yang digelar tepat di hadapan panggung. Ada Sarip di situ. Kami mengobrol.
“Eh, benar Sarip ngocak
tae ka Pak Anwar?” Kukonfirmasi
Sarip di sela obrolan kami. Pandang mata Sarip beranjak, seperti ingin
menghindari topik pembicaraan. Kupasang senyum, tanda aku tak marah. Sarip
diam. Kutelengkan kepala, tanda menunggu jawaban. Sarip menunduk,
“Ngghi, Bu.” Dia mengaku.
“Ole se
ngocak cubek ka Pak Guru?” , kutanya begitu, makin dalam Sarip menunduk.
“Tiidak, Bu.” Jawaban pendek. Tapi
sudah cukup buatku. Sarip tahu tak seharusnya ia berkata kasar kepada guru.
“Nah.. kalau begitu, Sarip harus...,” kalimat kugantung.
“Minta maaf!” Sarip menyambung.
Matanya yang jenaka sudah kembali menatapku.
(Foto adalah dokumen pribadi penulis)
0 comments