Mengajar di Halmahera Selatan (CERITA-NYA Project #19)
00.00
Oleh: Avina Widarsa
Sudah
hampir tujuh bulan, saya menginjakkan kaki di Desa Bajo, kecamatan Botang
Lomang, kabupaten Halmahera Selatan. Selama itu pula status saya berubah,
menjadi seorang ibu guru. Sebelumnya, saya tidak pernah membayangkan akan
menjadi seorang guru, apalagi dipanggil "Ibu....Ibu..." setiap saya
lewat di depan anak-anak kecil ke mana pun saya pergi di desa ini. Pun ketika
sebelum ke sini saya merasa aneh jika ada yang memanggil saya dengan sebutan
"Ibu..." kesannya saya terlalu tua untuk menyandang gelar tersebut.
Program
Indonesia Mengajar yang saya ikuti memang bertujuan untuk mengisi kekurangan
guru di pelosok, khususnya guru SD. Saya ditempatkan sebagai guru SD di SDN
Torosubang. Selama tujuh bulan ini pula saya belajar bahwa menjadi seorang ibu
guru bukan hal yang mudah. Saya yang tidak memiliki latar belakang mengajar di
SD dan berhubungan dengan anak-anak secara intensif mendadak menjadi sosok yang
harus bisa menjadikan anak-anak sebagai sahabat. Ya, di desa ini, saya sendiri,
mau tidak mau ketika ingin bermain ya anak-anak yang harus saya dekati.
Alhasil, saya menjadi banyak belajar mengenai sifat, karakter dan kebiasaan
anak-anak.
Adalah
Ajus, salah satu anak murid saya yang baru lulus dari sekolah dasar. Pertama
bertemu anak ini kesan yang saya dapatkan adalah anak ini tidak bisa diam.
Bahkan saya cenderung menilainya sebagai "anak nakal" dan "tidak
bisa diatur". Suatu saat saya mengajarkan matematika tentang urutan dalam
pecahan. Saya kaget sekali ketika Ajus tidak bisa mengurutkan bilangan dari
angka 1-5 hingga benar. Dia bahkan tidak bisa menyebutkan angka 2 dan 3 secara
berurutan. Wah, PR betul ini untuk saya. Di pelajaran bahasa Indonesia pun Ajus
tidak dapat membaca teks drama di depan kelas dengan baik, sehingga saya
berpikir Ajus masih belum bisa membaca dengan lancar. Alih-alih memperhatikan
guru dan pelajaran di depan kelas, Ajus senang sekali bermain di hutan belakang
sekolah dan tidak jarang mengganggu teman-temannya sehingga berkali-kali saya
dibuat lelah dengan ulahnya.
Dibalik
"kenakalan" dan keisengannya, Ajus ternyata anak yang sangat sopan di
depan guru. Ia bahkan pernah berinisiatif menyapu kelas ketika ada tai kambing
yang berada di depan kelas. Ia juga tidak segan membantu saya jika sedang
membawa barang-barang yang agak berat ketika akan berangkat atau pulang dari
sekolah. Satu hal lagi yang saya diam-diam salut dengannya, suatu saat ia rela
berjalan jauh di tengah gelapnya malam melewati jembatan papan yang bergoyang
hanya untuk belajar ke rumah saya. Padahal, saat itu tidak ada satupun
temannya, anak-anak kelas 6 yang belajar di rumah saya. Sungguh, saya terharu
diam-diam melihat semangat belajar yang sangat besar dari anak ini. Satu hal
lagi yang membuat saya kagum adalah ketika Ajus bisa membaca pertanyaan UAN
Bahasa Indonesia tahun lalu dengan lancar di depan kelas. Ehm, tidak serta
merta lancar sih, tapi usahanya untuk menyelesaikan bacaan dan pertanyaan untuj
dijawab betul-betul membuat saya heran sekaligus aneh. Ternyata, Ajus bisa
membaca dengan lancar, artinya tidak buta huruf sama sekali. Suatu keadaan yang
saya sangsi ketika bertemu ia pertama kali.
Lain
cerita Ajus, lain lagi cerita Umi. Umi adalah keponakan Alfan, salah satu anak
murid saya yang baru lulus SD, dan tinggal dekat dengan sekolah. Setiap saya
pergi ke sekolah tentu saya melewati depan rumahnya. Umi ini baru berumur tiga
tahun, rambutnya keriting berwarna orange dan pipinya gembul sekali. Setiap
saya lewat depan rumahnya, Umi semangat sekali memanggil saya
"Ibu...Ibu..." tidak jarang ia memanggil saya bersama teman-teman
balitanya. Anehnya, setiap saya hampiri, Umi seperti diam seribu bahasa. Saya
tidak tahu apa yang ada di pikiran dia, ketika saya mendekatinya dan mencoba
berbicara dengan Umi, Umi jarang sekali membalas apa yang saya tanyakan.
Alih-alih menjawab pertanyaan saya langsung, ia lebih sering mengatakan jawaban
tersebut kepada Ibunya atau Alfan untuk diberitahu kepada saya. Wah, ternyata
Umi malu dengan saya :D
Suatu sore
saya mendapat cerita dari Ibunya. Ibu Umi bertanya "Umi nanti sekolah PAUD
ya?" umi pun menjawab "Iya ma...". Kemudian Ibunya Umi menunjuk
Bu Ipah, guru PAUD yang kebetulan sedang lewat di depan rumahnya, "Umi
nanti belajar di PAUD sama ibu yang ini ya..." Umi pun spontan menjawab,
"Umi gak mau, Umi maunya sama Ibu yang itu (Ibu Vina-saya)"...
Hahaha. Lucu sekali tingkah polah anak ini.
Selama
menjadi Ibu Guru saya juga merasa bahwa anak-anak di sini betul-betul masih
polos dan sangat tulus. Tidak jarang saya diberikan beraneka ragam
"seserahan", mulai dari mangga, langsa, manggis dan kelapa yang
diambil dari kebun, ikan yang dijaring dari keramba, hingga kurma yang
dibelikan dari kota Ternate. Sungguh, saya terharu sekali. Apalagi ketika di
bulan Ramadhan ini saya dan beberapa remaja berinisiatif mengadakan lomba-lomba
serta pesantren kilat, anak-anak dari Torosubang berjalan ke rumah saya yang
letaknya di Jembatan Batu, sekitar satu setengah kilometer dari dusun
Torosubang jika mereka melihat saya belum hadir di masjid. Mereka tidak mau
mulai jika saya belum ada di sana...
Ketulusan
mereka juga saya tangkap melalui jurnal kelas yang mereka isi setiap hari. Isi
dari jurnal tersebut kebanyakan adalah ucapan terima kasih kepada saya. Tidak
jarang mereka menghadiahkan pantun atau menggambar bunga untuk mengungkapkan
rasa sayang dan terima kasihnya kepada saya.
Ah,
anak-anak...Terima kasih telah memberikan kesempatan kepada saya menjadi
seorang Ibu Guru. Semoga semua yang bisa saya berikan kepada mereka saat ini
bermanfaat untuk masa depan mereka kelak. Amin... (*)
(Foto diambil dari dokumen pribadi penulis dan google images oleh admin blog RDM)
(Foto diambil dari dokumen pribadi penulis dan google images oleh admin blog RDM)
0 comments